Selasa, 23 Desember 2014

Ibu



Pertama: mama. Kami memanggil ibu kami dengan panggilan mama. Mama seorang pencerita yang handal. Waktu kami masih kecil, mama selalu bercerita sebelum kami tidur. Mulai dari dongeng kesukaan beliau sendiri tentang dongeng Cina kuno seperti legenda ular putih-ular hijau dan Sun Go Kong, sampai cerita bawang merah-bawang putih, Sangkuriang dan cerita rakyat Indonesia lainnya. Yang paling ku suka adalah cerita perjuangan masa kecilnya di jaman penjajahan Jepang dan perang kemerdekaan, sebab terdengar seru bagi seorang anak yang tidak paham apa arti kata “perang” dan “menderita dalam pengungsian”. Mama selalu menyisipkan pesan-pesan kearifan di akhir setiap ceritanya. Setelah aku memasuki masa remaja, mama lebih banyak bercerita saat menjemput kami pulang sekolah, mengisahkan perjuangan orang-orang di sekitarnya, dengan segala keberhasilan dan kegagalan mereka, juga beberapa cerita perjuangan mama sendiri dalam memahami dan memaafkan siapapun yang bersalah kepadanya.
Mama bukan seorang perawat atau dokter, namun beliau sangat cekatan memberi pertolongan pada karyawan papa yang terluka akibat kecelakaan kerja: mulai dari yang luka teriris pisau, sampai yang jarinya terpotong mesin. Aku kagum dengan ketenangannya saat memberi pertolongan pertama dan melarikan mereka ke Rumah Sakit. Ketika aku terkena musibah dan terluka, mama juga yang setiap malam mengoleskan obat untuk menyembuhkan luka-lukaku.
Dengan semua hal yang telah dilakukannya, mama selalu bernama cinta kasih. Melalui mama-lah aku pertama-tama mengalami cinta kasih Tuhan dan memahami indahnya memaafkan.
Kedua: mami. Suamiku memanggil ibunya dengan panggilan mami. Aku menyebutnya mami. Jarang aku menyebut beliau sebagai “mami mertuaku” ... sampai suatu saat ketika beliau dirawat di Rumah Sakit dan aku hendak menjenguknya, aku bertemu dengan seorang teman yang bertanya “Siapa yang sakit?” dan langsung kujawab “mamiku” ... lalu ternyata sorenya beberapa orang menelponku menanyakan: sakit apakah mama, ibu kandungku. Sejak itu aku merasa perlu menjelaskan “mamiku, mertuaku”.
Mami seorang pencerita yang handal juga. Mami selalu bercerita dengan gayanya yang lucu dan polos. Kami bisa tertawa terbahak-bahak mendengar ceritanya, sebab beliau kadang mengakhiri ceritanya dengan menertawakan diri sendiri dan tawa terbahak-bahak. Kadang-kadang mami bercerita dengan mata berkaca-kaca juga, saat mengisahkan jatuh bangun dan perjuangan hidup keluarganya. Kata akhir dalam setiap ceritanya selalu berbunyi “Tuhan baik sekali”. Salah satu hal yang senang beliau ceritakan adalah kisah anak-anaknya yang begitu dibanggakan. Sekali-sekali,  baik kepada teman lama atau kenalan baru,  beliau  menceritakan rahasia kecil kami bahwa aku dan suamiku saling jatuh cinta di masa ABG, dan akhirnya dipersatukan oleh Tuhan setelah kami dewasa. Dan aku selalu tersipu-sipu dan terharu ketika membayangkan bahwa mami sudah mengenalku sebelum kami bertemu, dan bahwa aku sudah mengasihi mami sebelum kami bertemu juga, yaitu saat aku dalam perjuangan menghadapi kesukaran dan beliau menitipkan kalimat yang membesarkan hatiku “inti hidup kita adalah untuk dikasihi Tuhan”. 
Dengan semua yang telah dilakukannya, (almarhum) mami selalu kukenang sebagai cinta yang membawa kabar sukacita bahwa “Tuhan mengasihi kita”. 
     Selalu: aku sendiri masih belajar menjadi ibu. Dari mama aku belajar untuk  sabar dan tekun, belajar merefleksikan dan memaknai kisah-kisah hidup, lalu memetik kearifan dari setiap peristiwa. Aku juga belajar untuk memaafkan dan mengerti pentingnya menyembuhkan luka-luka. Dari mami aku belajar untuk menertawakan kelucuan dari kegagalanku, dan menghadapi setiap kesukaran sebagai saat untuk memahami bahwa “Tuhan mengasihi kita”. Tetapi aku belajar banyak dari anak-anakku untuk menjadi seorang ibu bagi mereka. Sampai sekarang dan seterusnya aku masih belajar ... semoga aku bisa menjadi seorang ibu yang bernama cinta kasih, dan menjadi seorang ibu yang menginspirasi seperti mama dan mami.

Selamat hari ibu, mama dan mami, I love you. 

DH.22 Des 2014