Dalam hidup ini, kadang kita berada dalam situasi yang
bagaikan malam gelap. Dalam situasi seperti itu, kita mungkin merasa sendirian. Kita
mencari bintang yang menjadi penerang, tapi rasanya tidak kita temukan bintang dalam
kegelapan itu.
Dulu, aku
memiliki fobia terhadap gelap, yang mungkin berasal dari sebuah pengalaman
traumatik. Maka, jangan sampai terjadi di rumah tak ada lilin, senter atau
lampu emergensi, karena bila tiba-tiba aliran listrik padam dan tidak ada alat
penerang, pasti aku ketakutan, merasa sesak dan tidak berani bergerak.
Pada suatu hari, pada semester kedua
masa kuliahku, aku mengikuti kegiatan pencinta alam yang bernama Atlas Medical
Pioneer (AMP). Seluruh acara pendidikan dasar AMP selama 6 bulan berhasil
kulalui dengan baik, karena setiap kegiatan di malam hari seperti membaca
kompas, mountaineering dan lain-lain selalu dilakukan dalam kelompok dan menggunakan
senter. Pendidikan dasar itu diakhiri dengan long march selama seminggu. Dalam
long march tersebut, ada acara jurit malam. Di sanalah aku diuji untuk
menghadapi ketakutanku sendiri.
Malam itu gelap. Siang dan sore harinya
hujan lebat terus-menerus, sehingga udara tengah malam terasa dingin menusuk
tulang. Maka kami semua berjalan dengan
berponco. Kami disuruh berjalan sendiri-sendiri, membawa pesan misterius yang
agak horor (cerita hantu) ke beberapa pos yang sudah ditunjukkan, melalui jalan
setapak yang dibatasi semak dan pepohonan lebat di hutan lindung di daerah Kawah
Putih di Bandung Selatan. Jarak antara satu pos dengan pos lain cukup jauh,
sekitar 5 – 10 menit, dan setiap orang diharuskan berjalan sendiri tanpa teman.
Panitia sudah merancang acara dengan baik, sehingga peserta tidak mungkin bertemu
satu sama lain. Aku tidak takut dengan cerita hantu. Tetapi, berjalan dalam
gelap - dengan tubuh dan kepala tertutup ponco serta topi - di bawah bayang-bayang kegelapan hutan,
membuatku berkeringat dingin dan mulai merasa sesak. Apalagi ternyata senter
yang kubawa hampir habis baterainya dan sinarnya yang redup tidak bisa
menerangi jalan setapak di depanku. Rasanya dunia benar-benar gelap, dan bisa
saja aku tersesat atau masuk ke jurang. Hatiku merasa takut. Bagaimana bila
dari balik semak-semak itu muncul orang jahat, padahal aku sendirian? Aku
berjalan sambil berdoa, dan berkata dalam hati ............. “aku tidak boleh
sesak, tidak boleh berhenti, Tuhan akan menjagaku .......... Malaikat Allah,
engkau yang diserahi kemurahan Tuhan untuk melindungi aku .............” Sambil
mendaraskan doa, aku berjalan dengan tetap ketakutan. Karena ketakutan,
ternyata aku berbelok dari jalan setapak dan masuk ke antara semak-semak menuju
hutan .........
Ternyata panitia sebenarnya
menempatkan tim pengawas, yaitu para anggota senior, di jalan yang kami lalui.
Mereka memperhatikan dari balik kegelapan. Dan salah seorang seniorku itu mendengar
bunyi langkahku menerobos semak dan menginjak lumpur. Dia menyusulku dan
berteriak memanggilku “Siswa!!” (Selama pendidikan dasar, kami dipanggil
sebagai “siswa”). Aku tersadar, membalikkan tubuh dan menjawab dengan jawaban
standar yang diwajibkan “AMP!”. Kakak senior itu memandangku heran dan membentak
dengan gusar “Ngapain kamu berbelok ke hutan? Mau kesasar dan hilang lenyap?” Aku
tidak bisa menjawab dan menangis karena kaget bercampur lega. Ternyata aku
tidak ditinggalkan sendirian. Ada yang mengawasi dan siap membantu pada saat
yang tepat. Ia membawaku kembali ke jalan yang benar dan di sana aku mengakui
bahwa aku mempunyai masalah ketakutan terhadap gelap. Dengan ramah, kakak
senior itu menyuruhku duduk sebentar, membuka topi dan kapunchon yang menutup
kepalaku, memberiku minum beberapa teguk, lalu bertanya: “Kamu menyerah sampai
di sini saja atau ingin melanjutkan perjalanan?” Aku memutuskan untuk
melanjutkan perjalanan, karena kini aku tahu bahwa kami tidak pernah
ditinggalkan sendirian. Maka ia meminjamkan senternya yang super terang agar aku
bisa melanjutkan perjalananku dalam terang.
Sesudah aku tenang, sebelum
melanjutkan perjalanan, kakak senior itu
menyuruhku memandang ke langit. Katanya: “Kamu mengira malam ini
betul-betul gelap, karena kamu menutup pandanganmu dengan topi dan kapuchon,
dan hanya memandang ke bawah. Sekarang, coba lihat ke langit!” Di bawah bayang-bayang pepohonan yang tinggi,
dengan kepala tertutup topi dan kapuchon, memang jalan setapak itu tampak
begitu gelap, apalagi aku memfokuskan pandangan ke bawah, yaitu ke jalan yang
kulalui. Dan saat itu aku menganggap bahwa sehabis hujan lebat, malam pasti begitu
gelap sehingga tak mungkin ada bintang. Tapi ketika aku memandang ke langit, aku
sadar bahwa aku keliru. Ternyata langit malam itu tanpa awan dan dipenuhi
bintang-bintang ................
Ketika hidup kita tampak gelap dan
menggentarkan, jangan menyerah. Percayalah bahwa Tuhan selalu siap menolong
kita pada saat yang tepat. Ia telah menempatkan penolong-penolong di tempat
yang tepat, yang siap untuk membawa kita
kembali ke jalan yang terang dan aman. Mungkin di saat yang menggentarkan itu, kita
harus belajar untuk memandang dari kegelapan. Seperti dikatakan: justru dalam
malam gelap-lah kita bisa melihat bintang-bintang di langit. Justru dalam peristiwa
hidup yang menggentarkan itulah kita dapat mengalami penyertaan Tuhan melalui
pribadi-pribadi yang kita jumpai.
“Aku akan
menyertai engkau ; Aku tidak
akan membiarkan engkau
dan tidak akan meninggalkan engkau.” (Yosua 1:5b).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar