Kamis, 03 Oktober 2013

Dalam malam gelap, di manakah bintang?



        Dalam hidup ini, kadang kita berada dalam situasi yang bagaikan malam gelap. Dalam situasi seperti itu, kita mungkin merasa sendirian. Kita mencari bintang yang menjadi penerang, tapi rasanya tidak kita temukan bintang dalam kegelapan itu.

      Dulu, aku memiliki fobia terhadap gelap, yang mungkin berasal dari sebuah pengalaman traumatik. Maka, jangan sampai terjadi di rumah tak ada lilin, senter atau lampu emergensi, karena bila tiba-tiba aliran listrik padam dan tidak ada alat penerang, pasti aku ketakutan, merasa sesak dan tidak berani bergerak.

Pada suatu hari, pada semester kedua masa kuliahku, aku mengikuti kegiatan pencinta alam yang bernama Atlas Medical Pioneer (AMP). Seluruh acara pendidikan dasar AMP selama 6 bulan berhasil kulalui dengan baik, karena setiap kegiatan di malam hari seperti membaca kompas, mountaineering dan lain-lain selalu dilakukan dalam kelompok dan menggunakan senter. Pendidikan dasar itu diakhiri dengan long march selama seminggu. Dalam long march tersebut, ada acara jurit malam. Di sanalah aku diuji untuk menghadapi ketakutanku sendiri.

Malam itu gelap. Siang dan sore harinya hujan lebat terus-menerus, sehingga udara tengah malam terasa dingin menusuk tulang.  Maka kami semua berjalan dengan berponco. Kami disuruh berjalan sendiri-sendiri, membawa pesan misterius yang agak horor (cerita hantu) ke beberapa pos yang sudah ditunjukkan, melalui jalan setapak yang dibatasi semak dan pepohonan lebat di hutan lindung di daerah Kawah Putih di Bandung Selatan. Jarak antara satu pos dengan pos lain cukup jauh, sekitar 5 – 10 menit, dan setiap orang diharuskan berjalan sendiri tanpa teman. Panitia sudah merancang acara dengan baik, sehingga peserta tidak mungkin bertemu satu sama lain. Aku tidak takut dengan cerita hantu. Tetapi, berjalan dalam gelap - dengan tubuh dan kepala tertutup ponco serta topi  - di bawah bayang-bayang kegelapan hutan, membuatku berkeringat dingin dan mulai merasa sesak. Apalagi ternyata senter yang kubawa hampir habis baterainya dan sinarnya yang redup tidak bisa menerangi jalan setapak di depanku. Rasanya dunia benar-benar gelap, dan bisa saja aku tersesat atau masuk ke jurang. Hatiku merasa takut. Bagaimana bila dari balik semak-semak itu muncul orang jahat, padahal aku sendirian? Aku berjalan sambil berdoa, dan berkata dalam hati ............. “aku tidak boleh sesak, tidak boleh berhenti, Tuhan akan menjagaku .......... Malaikat Allah, engkau yang diserahi kemurahan Tuhan untuk melindungi aku .............” Sambil mendaraskan doa, aku berjalan dengan tetap ketakutan. Karena ketakutan, ternyata aku berbelok dari jalan setapak dan masuk ke antara semak-semak menuju hutan .........

Ternyata panitia sebenarnya menempatkan tim pengawas, yaitu para anggota senior, di jalan yang kami lalui. Mereka memperhatikan dari balik kegelapan. Dan salah seorang seniorku itu mendengar bunyi langkahku menerobos semak dan menginjak lumpur. Dia menyusulku dan berteriak memanggilku “Siswa!!” (Selama pendidikan dasar, kami dipanggil sebagai “siswa”). Aku tersadar, membalikkan tubuh dan menjawab dengan jawaban standar yang diwajibkan “AMP!”. Kakak senior itu memandangku heran dan membentak dengan gusar “Ngapain kamu berbelok ke hutan? Mau kesasar dan hilang lenyap?” Aku tidak bisa menjawab dan menangis karena kaget bercampur lega. Ternyata aku tidak ditinggalkan sendirian. Ada yang mengawasi dan siap membantu pada saat yang tepat. Ia membawaku kembali ke jalan yang benar dan di sana aku mengakui bahwa aku mempunyai masalah ketakutan terhadap gelap. Dengan ramah, kakak senior itu menyuruhku duduk sebentar, membuka topi dan kapunchon yang menutup kepalaku, memberiku minum beberapa teguk, lalu bertanya: “Kamu menyerah sampai di sini saja atau ingin melanjutkan perjalanan?” Aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, karena kini aku tahu bahwa kami tidak pernah ditinggalkan sendirian. Maka ia meminjamkan senternya yang super terang agar aku bisa melanjutkan perjalananku dalam terang.

Sesudah aku tenang, sebelum melanjutkan perjalanan, kakak senior itu  menyuruhku memandang ke langit. Katanya: “Kamu mengira malam ini betul-betul gelap, karena kamu menutup pandanganmu dengan topi dan kapuchon, dan hanya memandang ke bawah. Sekarang, coba lihat ke langit!”  Di bawah bayang-bayang pepohonan yang tinggi, dengan kepala tertutup topi dan kapuchon, memang jalan setapak itu tampak begitu gelap, apalagi aku memfokuskan pandangan ke bawah, yaitu ke jalan yang kulalui. Dan saat itu aku menganggap bahwa sehabis hujan lebat, malam pasti begitu gelap sehingga tak mungkin ada bintang. Tapi ketika aku memandang ke langit, aku sadar bahwa aku keliru. Ternyata langit malam itu tanpa awan dan dipenuhi bintang-bintang ................

Ketika hidup kita tampak gelap dan menggentarkan, jangan menyerah. Percayalah bahwa Tuhan selalu siap menolong kita pada saat yang tepat. Ia telah menempatkan penolong-penolong di tempat yang tepat,  yang siap untuk membawa kita kembali ke jalan yang terang dan aman. Mungkin di saat yang menggentarkan itu, kita harus belajar untuk memandang dari kegelapan. Seperti dikatakan: justru dalam malam gelap-lah kita bisa melihat bintang-bintang di langit. Justru dalam peristiwa hidup yang menggentarkan itulah kita dapat mengalami penyertaan Tuhan melalui pribadi-pribadi yang kita jumpai. 

Aku akan menyertai engkau ; Aku tidak akan membiarkan engkau

dan tidak akan meninggalkan engkau.” (Yosua 1:5b).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar