Pada bulan September 2013 di stasi
kami diadakan lomba renungan Kitab Suci. Kebetulan bapak ketua lingkungan
meminta saya untuk menjadi wakil lingkungan dalam lomba tersebut, maka sayapun
menjadi peserta lomba. Tanggal 3
Oktober malam, saya mendapat sms dari bapak ketua lingkungan, yang meminta agar
saya hadir dalam acara pengumuman lomba setelah misa di stasi yang berlangsung
pk.08.00 – 09.30, sebab katanya saya menjadi salah seorang pemenang. Wah,
sayang sekali saya kemungkinan tidak bisa hadir, sebab 6 Oktober saya bersama
suami akan berangkat dengan pesawat pk.11.40, jadi pk.09.40 sudah harus check-in. Tetapi pada malam minggu,
kebetulan kami berjumpa dengan Romo moderator stasi dan beliau berpesan “Datanglah
misa dulu di stasi besok pagi. Pasti tidak akan ketinggalan pesawat”. Maka
akhirnya kami menghadiri misa di stasi pada hari minggu itu. Ternyata saya
mendapat hadiah pertama. Syukur kepada Allah. Hadiahnya berupa dua buah
bungkusan. Bungkusan pertama jelas buku. Bungkusan kedua berupa benda bentuk
silinder, terbungkus dalam kertas kado bercorak batik, yang ketika diterima ternyata berat! Saya tidak bisa menebak isinya
dan langsung memasukkan semua itu ke dalam tas, lalu segera berangkat ke
Bandara setelah misa selesai.
Setelah
sampai di tempat tujuan dan beristirahat
sebentar, saya bersama suami membuka bungkusan hadiah itu. Bungkusan
pertama betul buku, mungkin saya disuruh merenung lagi . Dua buku “berat” yang ...... nanti sajalah kapan-kapan
kubaca dan kurenungkan isinya (di rumah). Bungkusan kedua ternyata ....... sebotol selai Mulberry yang tampak enaaaak
........ mmmmm . Asyik! Nanti
sepulang dari perjalanan ini, kami bisa menikmati sarapan dengan roti berlapis
selai Mulberry. Saya paling suka membuat sandwich bakar berisi margarine + pindakas +
selai. Sandwich favorit anak-anakku.
Singkat
cerita, 3 hari kemudian kami pulang dengan pesawat yang sama. Ternyata timbul
permasalahan. Sebetulnya, untuk perjalanan pulang pergi ini kami tidak membeli
bagasi, jadi kedua travel bag kami
dibawa ke dalam kabin. Tapi aneh juga waktu berangkat dari Bandung, kok selai
tersebut bisa lolos dibawa ke dalam kabin. Di bandara Changi, dalam pemeriksaan pertama, botol
tersebut terdeteksi dan petugas bandara menyuruh kami mengeluarkannya dari
dalam tas. “Sorry, you have Honey in your bag, lah!” kata petugas tersebut. Kami kebingungan. Tidak, lah, kami tidak membawa madu! Kami tidak segera “ngeh”, karena tidak sadar bahwa si selai itulah yang
terdeteksi. Maka kami membongkar travel-bag
dan baru sadar ....... astaga, sebotol selai-ku yang enak! (Aneh juga, selai
ini bisa lolos di Bandara Husen Satranegara).
Petugas bandara
itu seorang emak-emak tua yang barangkali sebentar lagi pensiun. Beliau
memandangi botol selai Mulberry yang masih disegel itu dengan rasa sayang. Mungkin
beliau menangkap rasa sayang juga dalam jawaban saya “Oh, this is a present,
mam. Someone give me this as a special gift.”
Wajah ibu tua itu menyatakan “ya saya mengerti, tapi tidak bisa
meloloskan benda cair yang volumenya lebih dari 100 ml .......” Maka dia
menyarankan “Berikan sajalah pada keluargamu yang mengantar di luar sana,”
katanya. Tidak, tidak ada yang mengantar kami ke Bandara ini. “Oh, saya punya
akal,” kata ibu itu. “Bawa saja ke dalam ruang tunggu, cari toko swalayan di
sana, beli produk berbentuk cairan, nanti mereka akan menempatkan belanjaanmu
dalam plastik bersegel, nah masukkan saja selaimu ke dalam plastik tersebut,
ya!”
Akhirnya
kami menjalankan ide ibu tua itu. Tapi sayang sekali, petugas toko swalayan
tidak bisa membantu dengan memasukkan selai itu ke dalam plastik bersegel.
Sebab, selai ini tidak ada dalam struk pembelian, nanti menimbulkan masalah
saat akan boarding. Petugas pintu
terakhir akan mengecek pramuniaga mana yang memasukkan benda asing tak
terdaftar ke dalam plastik bersegel, dan ia akan dipecat. Oh, tidak! “Begini
saja,” kata kasir swalayan. “Anda pergi ke swalayan seven-eleven di lantai 3,
beli beberapa botol kosong yang muat 100 ml, bagi-bagi selaimu ke dalam
beberapa botol kecil. Pasti beres!” Ide yang bagus, namun sayang sekali saat
itu sudah panggilan terakhir untuk boarding,
dan kami terpaksa berlari ke gerbang 33 untuk boarding.
Petugas pendeteksi
di gerbang tersebut seorang emak-emak tua juga. Dari penampilannya, tampak
bahwa mungkin sebentar lagi beliau juga pensiun. Beliaupun menemukan botol
selai itu dan mengatakan “I’m so sorry. You cannot bring any liquid product
more than 100 ml.” Kami mengangkat bahu. Bahasa tubuh kami menyatakan: ya
sudah, mak, kami mengerti. Dengan sangat menyesal, kami terpaksa meninggalkan
selai yang enak itu di pintu skrining terakhir, atau kami tidak bisa terbang
bersama pesawat tersebut. Lain kali, kami akan mengecek dulu setiap isi
bungkusan yang kami bawa, supaya perjalanan kami lancar dan semua bawaan
diterima.
Mmmm,
untunglah ini cuma perjalanan di dunia. Tidak terbayang kalau tadi itu suatu
perjalanan menuju keabadian. Kalau kita masih membawa-bawa dosa, penyesalan
yang tertunda atau terlambat, kemarahan kepada orang lain yang belum beres, dan
lain-lain .......... bisa saja kita lolos dari pintu skrining pertama. Namun,
di pintu terakhir menuju Surga, pasti apapun yang kita bawa akan terdeteksi
........ dan kita tidak bisa masuk ke sana tanpa membuang beban-beban yang
belum kita lepaskan. Di pintu terakhir sebelum naik pesawat, selai saya tadi tidak dibuang. Emak tua penjaga pintu
terakhir dengan wajah senang menyimpannya, kami bisa melihat itu dari bahasa
tubuhnya. Pasti beliau membawanya pulang dan menikmatinya! Di pintu Surga?
Mungkin tidak ada yang mau menerima hibah beban kita dengan senang hati
............. kecuali Yesus, yang dengan sukarela memikul dosa kita, dan sudah menebus
kita dengan wafat dan kebangkitan-Nya. Namun, semoga saja selama hidup kita di
dunia belum berakhir, kita manfaatkan setiap waktu untuk mempersiapkan diri
dengan baik, agar kelak kita bisa menempuh perjalanan kita ke keabadian dengan
bekal yang memenuhi syarat: sebuah cinta yang tulus kepada Tuhan dan segala ciptaan-Nya, yang sudah kita
hidupi secara nyata selama perjalanan di dunia.