Rabu, 16 Oktober 2013

Perjalanan sebotol selai





    Pada bulan September 2013 di stasi kami diadakan lomba renungan Kitab Suci. Kebetulan bapak ketua lingkungan meminta saya untuk menjadi wakil lingkungan dalam lomba tersebut, maka sayapun menjadi peserta lomba. Tanggal 3 Oktober malam, saya mendapat sms dari bapak ketua lingkungan, yang meminta agar saya hadir dalam acara pengumuman lomba setelah misa di stasi yang berlangsung pk.08.00 – 09.30, sebab katanya saya menjadi salah seorang pemenang. Wah, sayang sekali saya kemungkinan tidak bisa hadir, sebab 6 Oktober saya bersama suami akan berangkat dengan pesawat pk.11.40, jadi pk.09.40 sudah harus check-in. Tetapi pada malam minggu, kebetulan kami berjumpa dengan Romo moderator stasi dan beliau berpesan “Datanglah misa dulu di stasi besok pagi. Pasti tidak akan ketinggalan pesawat”. Maka akhirnya kami menghadiri misa di stasi pada hari minggu itu. Ternyata saya mendapat hadiah pertama. Syukur kepada Allah. Hadiahnya berupa dua buah bungkusan. Bungkusan pertama jelas buku. Bungkusan kedua berupa benda bentuk silinder, terbungkus dalam kertas kado bercorak batik, yang ketika diterima ternyata berat! Saya tidak bisa menebak isinya dan langsung memasukkan semua itu ke dalam tas, lalu segera berangkat ke Bandara setelah misa selesai.

Setelah sampai di tempat tujuan  dan beristirahat sebentar, saya bersama suami membuka bungkusan hadiah itu. Bungkusan pertama betul buku, mungkin saya disuruh merenung lagi *:) senang. Dua buku “berat” yang ...... nanti sajalah kapan-kapan kubaca dan kurenungkan isinya (di rumah). Bungkusan kedua ternyata .......  sebotol selai Mulberry yang tampak enaaaak ........ mmmmm *:) senang . Asyik! Nanti sepulang dari perjalanan ini, kami bisa menikmati sarapan dengan roti berlapis selai Mulberry. Saya paling suka membuat sandwich bakar berisi margarine + pindakas + selai. Sandwich favorit anak-anakku.

 

Singkat cerita, 3 hari kemudian kami pulang dengan pesawat yang sama. Ternyata timbul permasalahan. Sebetulnya, untuk perjalanan pulang pergi ini kami tidak membeli bagasi, jadi kedua travel bag kami dibawa ke dalam kabin. Tapi aneh juga waktu berangkat dari Bandung, kok selai tersebut bisa lolos dibawa ke dalam kabin. Di bandara Changi, dalam pemeriksaan pertama, botol tersebut terdeteksi dan petugas bandara menyuruh kami mengeluarkannya dari dalam tas. “Sorry, you have Honey in your bag, lah!” kata petugas tersebut. Kami kebingungan. Tidak, lah, kami tidak membawa madu! Kami tidak segera “ngeh”, karena tidak sadar bahwa si selai itulah yang terdeteksi. Maka kami membongkar travel-bag dan baru sadar ....... astaga, sebotol selai-ku yang enak! (Aneh juga, selai ini bisa lolos di Bandara Husen Satranegara).

Petugas bandara itu seorang emak-emak tua yang barangkali sebentar lagi pensiun. Beliau memandangi botol selai Mulberry yang masih disegel itu dengan rasa sayang. Mungkin beliau menangkap rasa sayang juga dalam jawaban saya “Oh, this is a present, mam. Someone give me this as a special gift.”  Wajah ibu tua itu menyatakan “ya saya mengerti, tapi tidak bisa meloloskan benda cair yang volumenya lebih dari 100 ml .......” Maka dia menyarankan “Berikan sajalah pada keluargamu yang mengantar di luar sana,” katanya. Tidak, tidak ada yang mengantar kami ke Bandara ini. “Oh, saya punya akal,” kata ibu itu. “Bawa saja ke dalam ruang tunggu, cari toko swalayan di sana, beli produk berbentuk cairan, nanti mereka akan menempatkan belanjaanmu dalam plastik bersegel, nah masukkan saja selaimu ke dalam plastik tersebut, ya!”

Akhirnya kami menjalankan ide ibu tua itu. Tapi sayang sekali, petugas toko swalayan tidak bisa membantu dengan memasukkan selai itu ke dalam plastik bersegel. Sebab, selai ini tidak ada dalam struk pembelian, nanti menimbulkan masalah saat akan boarding. Petugas pintu terakhir akan mengecek pramuniaga mana yang memasukkan benda asing tak terdaftar ke dalam plastik bersegel, dan ia akan dipecat. Oh, tidak! “Begini saja,” kata kasir swalayan. “Anda pergi ke swalayan seven-eleven di lantai 3, beli beberapa botol kosong yang muat 100 ml, bagi-bagi selaimu ke dalam beberapa botol kecil. Pasti beres!” Ide yang bagus, namun sayang sekali saat itu sudah panggilan terakhir untuk boarding, dan kami terpaksa berlari ke gerbang 33 untuk boarding.

Petugas pendeteksi di gerbang tersebut seorang emak-emak tua juga. Dari penampilannya, tampak bahwa mungkin sebentar lagi beliau juga pensiun. Beliaupun menemukan botol selai itu dan mengatakan “I’m so sorry. You cannot bring any liquid product more than 100 ml.” Kami mengangkat bahu. Bahasa tubuh kami menyatakan: ya sudah, mak, kami mengerti. Dengan sangat menyesal, kami terpaksa meninggalkan selai yang enak itu di pintu skrining terakhir, atau kami tidak bisa terbang bersama pesawat tersebut. Lain kali, kami akan mengecek dulu setiap isi bungkusan yang kami bawa, supaya perjalanan kami lancar dan semua bawaan diterima.

Mmmm, untunglah ini cuma perjalanan di dunia. Tidak terbayang kalau tadi itu suatu perjalanan menuju keabadian. Kalau kita masih membawa-bawa dosa, penyesalan yang tertunda atau terlambat, kemarahan kepada orang lain yang belum beres, dan lain-lain .......... bisa saja kita lolos dari pintu skrining pertama. Namun, di pintu terakhir menuju Surga, pasti apapun yang kita bawa akan terdeteksi ........ dan kita tidak bisa masuk ke sana tanpa membuang beban-beban yang belum kita lepaskan. Di pintu terakhir sebelum naik pesawat, selai saya tadi tidak dibuang. Emak tua penjaga pintu terakhir dengan wajah senang menyimpannya, kami bisa melihat itu dari bahasa tubuhnya. Pasti beliau membawanya pulang dan menikmatinya! Di pintu Surga? Mungkin tidak ada yang mau menerima hibah beban kita dengan senang hati ............. kecuali Yesus, yang dengan sukarela memikul dosa kita, dan sudah menebus kita dengan wafat dan kebangkitan-Nya. Namun, semoga saja selama hidup kita di dunia belum berakhir, kita manfaatkan setiap waktu untuk mempersiapkan diri dengan baik, agar kelak kita bisa menempuh perjalanan kita ke keabadian dengan bekal yang memenuhi syarat: sebuah cinta yang tulus kepada Tuhan dan segala ciptaan-Nya, yang sudah kita hidupi secara nyata selama perjalanan di dunia.



           






Kamis, 03 Oktober 2013

Dalam malam gelap, di manakah bintang?



        Dalam hidup ini, kadang kita berada dalam situasi yang bagaikan malam gelap. Dalam situasi seperti itu, kita mungkin merasa sendirian. Kita mencari bintang yang menjadi penerang, tapi rasanya tidak kita temukan bintang dalam kegelapan itu.

      Dulu, aku memiliki fobia terhadap gelap, yang mungkin berasal dari sebuah pengalaman traumatik. Maka, jangan sampai terjadi di rumah tak ada lilin, senter atau lampu emergensi, karena bila tiba-tiba aliran listrik padam dan tidak ada alat penerang, pasti aku ketakutan, merasa sesak dan tidak berani bergerak.

Pada suatu hari, pada semester kedua masa kuliahku, aku mengikuti kegiatan pencinta alam yang bernama Atlas Medical Pioneer (AMP). Seluruh acara pendidikan dasar AMP selama 6 bulan berhasil kulalui dengan baik, karena setiap kegiatan di malam hari seperti membaca kompas, mountaineering dan lain-lain selalu dilakukan dalam kelompok dan menggunakan senter. Pendidikan dasar itu diakhiri dengan long march selama seminggu. Dalam long march tersebut, ada acara jurit malam. Di sanalah aku diuji untuk menghadapi ketakutanku sendiri.

Malam itu gelap. Siang dan sore harinya hujan lebat terus-menerus, sehingga udara tengah malam terasa dingin menusuk tulang.  Maka kami semua berjalan dengan berponco. Kami disuruh berjalan sendiri-sendiri, membawa pesan misterius yang agak horor (cerita hantu) ke beberapa pos yang sudah ditunjukkan, melalui jalan setapak yang dibatasi semak dan pepohonan lebat di hutan lindung di daerah Kawah Putih di Bandung Selatan. Jarak antara satu pos dengan pos lain cukup jauh, sekitar 5 – 10 menit, dan setiap orang diharuskan berjalan sendiri tanpa teman. Panitia sudah merancang acara dengan baik, sehingga peserta tidak mungkin bertemu satu sama lain. Aku tidak takut dengan cerita hantu. Tetapi, berjalan dalam gelap - dengan tubuh dan kepala tertutup ponco serta topi  - di bawah bayang-bayang kegelapan hutan, membuatku berkeringat dingin dan mulai merasa sesak. Apalagi ternyata senter yang kubawa hampir habis baterainya dan sinarnya yang redup tidak bisa menerangi jalan setapak di depanku. Rasanya dunia benar-benar gelap, dan bisa saja aku tersesat atau masuk ke jurang. Hatiku merasa takut. Bagaimana bila dari balik semak-semak itu muncul orang jahat, padahal aku sendirian? Aku berjalan sambil berdoa, dan berkata dalam hati ............. “aku tidak boleh sesak, tidak boleh berhenti, Tuhan akan menjagaku .......... Malaikat Allah, engkau yang diserahi kemurahan Tuhan untuk melindungi aku .............” Sambil mendaraskan doa, aku berjalan dengan tetap ketakutan. Karena ketakutan, ternyata aku berbelok dari jalan setapak dan masuk ke antara semak-semak menuju hutan .........

Ternyata panitia sebenarnya menempatkan tim pengawas, yaitu para anggota senior, di jalan yang kami lalui. Mereka memperhatikan dari balik kegelapan. Dan salah seorang seniorku itu mendengar bunyi langkahku menerobos semak dan menginjak lumpur. Dia menyusulku dan berteriak memanggilku “Siswa!!” (Selama pendidikan dasar, kami dipanggil sebagai “siswa”). Aku tersadar, membalikkan tubuh dan menjawab dengan jawaban standar yang diwajibkan “AMP!”. Kakak senior itu memandangku heran dan membentak dengan gusar “Ngapain kamu berbelok ke hutan? Mau kesasar dan hilang lenyap?” Aku tidak bisa menjawab dan menangis karena kaget bercampur lega. Ternyata aku tidak ditinggalkan sendirian. Ada yang mengawasi dan siap membantu pada saat yang tepat. Ia membawaku kembali ke jalan yang benar dan di sana aku mengakui bahwa aku mempunyai masalah ketakutan terhadap gelap. Dengan ramah, kakak senior itu menyuruhku duduk sebentar, membuka topi dan kapunchon yang menutup kepalaku, memberiku minum beberapa teguk, lalu bertanya: “Kamu menyerah sampai di sini saja atau ingin melanjutkan perjalanan?” Aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, karena kini aku tahu bahwa kami tidak pernah ditinggalkan sendirian. Maka ia meminjamkan senternya yang super terang agar aku bisa melanjutkan perjalananku dalam terang.

Sesudah aku tenang, sebelum melanjutkan perjalanan, kakak senior itu  menyuruhku memandang ke langit. Katanya: “Kamu mengira malam ini betul-betul gelap, karena kamu menutup pandanganmu dengan topi dan kapuchon, dan hanya memandang ke bawah. Sekarang, coba lihat ke langit!”  Di bawah bayang-bayang pepohonan yang tinggi, dengan kepala tertutup topi dan kapuchon, memang jalan setapak itu tampak begitu gelap, apalagi aku memfokuskan pandangan ke bawah, yaitu ke jalan yang kulalui. Dan saat itu aku menganggap bahwa sehabis hujan lebat, malam pasti begitu gelap sehingga tak mungkin ada bintang. Tapi ketika aku memandang ke langit, aku sadar bahwa aku keliru. Ternyata langit malam itu tanpa awan dan dipenuhi bintang-bintang ................

Ketika hidup kita tampak gelap dan menggentarkan, jangan menyerah. Percayalah bahwa Tuhan selalu siap menolong kita pada saat yang tepat. Ia telah menempatkan penolong-penolong di tempat yang tepat,  yang siap untuk membawa kita kembali ke jalan yang terang dan aman. Mungkin di saat yang menggentarkan itu, kita harus belajar untuk memandang dari kegelapan. Seperti dikatakan: justru dalam malam gelap-lah kita bisa melihat bintang-bintang di langit. Justru dalam peristiwa hidup yang menggentarkan itulah kita dapat mengalami penyertaan Tuhan melalui pribadi-pribadi yang kita jumpai. 

Aku akan menyertai engkau ; Aku tidak akan membiarkan engkau

dan tidak akan meninggalkan engkau.” (Yosua 1:5b).