Senin, 22 April 2013

Jarak

(cuma pertanyaan:  kita dibawa ke mana oleh sebuah jarak?)



Di depan ini ada jarak terbentang 
tanpa batas
membuat ku sejenak berhenti melangkah
mencoba menangkap
kekosongan sepekat apa yang dibawanya.

Kutimbang bentangan itu 
dalam hitungan detik demi detik
hingga ia tersenyum dan bertanya,
mengapa aku mengukurnya dalam besaran waktu
dan mencari hal-hal yang tersimpan di kejauhannya.
Namun ia menggiringku 
untuk terus berjalan juga .....
dengan sepenuh hati .....
kuraih jarak itu ke dalam pelukan
hingga tak lagi terlihat,
dan tersingkaplah keindahan yang samar-samar menghiasinya
dengan kepenuhan palet warna yang seperti semula ada
dengan kecerahan yang belum pernah kulihat
dan pembelajaran bernama kearifan
serta kebeningan yang sejak dulu selalu menghidupi.

Aku pun merunduk hormat
dan bertanya kepada jarak,
mengapa disimpannya nada-nada yang sempurna
di balik gurun-gurun yang kerontang,
padang rumput yang tak bertepi,
dan relung jeram yang tak terduga.
Sebagai jawaban,
diretasnya aku dalam keagungan cinta
yang membebaskan aku
untuk melanjutkan langkah 
                               dalam rentang hingga sejumlah tahun cahaya.

Dengan segala keteguhan
kutelusuri bentangan jarak ini
                  yang jauhnya mungkin hanya sehasta
                  tapi bisa juga seluas semesta .....
kulepaskan diri bagi-Nya
melesat .....
dalam perjalanan menempuh waktu
melintasi batas-batas ruang
dan berlabuh pada Cinta-Nya
yang membawa kita selalu kembali
dalam kemurnian yang  sempurna.


Rabu, 03 April 2013

Cacing tanah dan karet gelang



Persepsi kita mengenai sesuatu hal pasti dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya. Contohnya saja, seorang remaja lelaki mungkin akan memandang “karet gelang” sebagai “salah satu produk yang dibuat dari getah pohon karet, berbentuk seperti gelang, bersifat lentur dan mempunyai daya lenting, sehingga sering digunakan untuk menjepret sesuatu”. Seorang gadis kecil akan menganggap karet gelang sebagai “pengikat rambut atau gelang-gelangan yang bisa dipakai di tangan”. Tapi bila ia pernah terkena jepretan karet gelang, mungkin ia memiliki persepsi bahwa “karet gelang dapat menimbulkan rasa sakit”.
Bagi diriku sendiri, karet gelang mengingatkan kembali pengalaman diampuni karena “tidak tahu apa yang ia lakukan” dan mengajariku tentang penyakit yang disebut “ileus obstruktif”. Bagaimana bisa begitu?
Di masa kecil, pasti kita pernah melakukan beberapa kesalahan dalam ketidaktahuan. Nah, aku pernah membuat kesalahan tak disengaja yang membuat keluargaku gempar. Rumah masa kecilku dikelilingi halaman dan pekarangan yang luas, yang ditanami pohon buah-buahan dan bunga, dilengkapi kolam ikan di halaman depan dan kandang ayam yang besar (seukuran kamar kami!) di halaman belakang.
Di usia sekitar 6 tahun, aku senang bercocok tanam. Beberapa macam tanaman yang kutanam adalah bunga pagi-sore, melati, tomat, kacang tanah dan cabe. Mama memang mendorong  kami untuk bercocok tanam, dan kami senang berada di kebun sambil menggali-gali tanah tanpa tujuan. Saat menggali-gali tanah itu, aku menemukan kegembiraan pada penemuan ajaib. Di dalam tanah sering kutemukan cacing, yang kuambil dengan tangan dan kuberikan kepada ayam yang dipelihara oleh nenek. Ayam-ayam itu menyukainya. Dan aku menyukai bunyi “kut, kut, kut” mereka ketika berebut cacing tanah, terdengar merdu seperti semacam paduan suara (yang menyanyikan lagu gembira), sebab jumlah ayam nenek mungkin lebih dari duapuluh ekor.
Mencari cacing tanah agak sulit, padahal aku senang sekali memberikannya kepada ayam-ayam nenek dan membuat mereka gembira, maka aku mencari akal. Dan pada suatu hari aku  menemukan  “ide bagus”. Di rumah selalu ada persediaan karet gelang yang cukup banyak, warnanya merah dan biasanya dibuat menjadi tali untuk bermain lompat tali. Kalau dipotong, bentuknya mirip dengan cacing tanah. Maka, kuambil segenggam karet gelang,  kupotong menjadi dua atau empat potongan pendek, kucampur dengan potongan rumput teki dan sedikit dedak, lalu kutaburkan ke tengah kerumunan ayam nenek. Bentuknya persis seperti cacing dan langsung para ayam itu berebut mematuknya dengan suara “kut,kut,kut” yang merdu.  Sebenarnya aku agak heran, kenapa ayam-ayam tersebut menyukai potongan karet gelang, padahal rasanya kan pahit (aku pernah mencoba rasanya). Mungkin mereka tidak punya indra pengecap? Tapi rasa heran itu tidak menggangguku, sebab aku senang dengan penemuan baru itu, yaitu bahwa ayam ternyata doyan makan karet gelang.
Setelah beberapa hari mendapat pakan bercampur karet gelang, tentu saja karet itu menggumpal dalam perut ayam. Gumpalan benda asing dalam saluran pencernaan tersebut mengganggu fungsi usus dan menimbulkan kegawatan bahkan dapat mematikan. Secara ilmu kedokteran disebut sebagai ileus obstruktif. Tapi saat itu aku tidak pernah menduga bahwa karet itu bisa menyumbat saluran pencernaan ayam dan akhirnya membuat mereka mati. Ada rasa berdosa dan sedih ketika ayam nenek mati satu persatu. Nenek tentu saja kalang kabut karena kehilangan lebih dari 4 ekor ayam dalam sehari. Ketika keesokan harinya nenek menyembelih beberapa ekor ayam yang belum mati untuk dimasak (“Daripada mati percuma, lebih baik dimasak”, kata beliau), beliau menemukan gumpalan karet gelang yang menjadi sumber malapetaka di perut ayam-ayam itu. Tentu saja seluruh keluarga gempar dan aku dimarahi, namun sekaligus dimaafkan karena “ia tidak tahu apa yang ia lakukan”.
Setelah kejadian itu, aku merasa trauma dan tidak mau lagi berurusan dengan karet gelang dalam jangka waktu yang cukup lama. Dalam kejadian itu, ayam tidak bisa disalahkan karena mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menilai. Mungkin saja dalam penglihatan mereka karet gelang itu dianggap sebagai cacing tanah. Sesuatu yang dianggap bisa memenuhi kebutuhan mereka, padahal ternyata menimbulkan bahaya. Di pihak lain, aku sebagai si anak kecil ketika itu sama bodohnya dengan ayam-ayam itu, dan belum bisa membedakan mana yang membawa keselamatan dan mana yang membahayakan.
Peribahasa mengatakan “Pengalaman adalah guru terbaik”, maka pengalaman tadi menjadi pembelajaran juga bagiku dan mengingatkan tentang perlunya untuk selalu mempertimbangkan lebih dulu apa yang akan kita lakukan. Dengan demikian, semoga apa yang kita niatkan baik memang akan membawa kebaikan bagi siapa saja yang kita jumpai. Jangan sampai niat memberi “cacing tanah” yang bisa membebaskan ayam dari lapar malah berubah menjadi “karet gelang” yang menimbulkan permasalahan. Di pihak lain, jangan sampai kitapun seperti ayam-ayam nenek yang salah persepsi, melihat karet gelang seolah-olah sebagai cacing tanah. Mari kita belajar memandang dengan benar dan memilih dengan benar hal-hal yang membuat hidup kita selamat.