Persepsi
kita mengenai sesuatu hal pasti dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya.
Contohnya saja, seorang remaja lelaki mungkin akan memandang “karet gelang”
sebagai “salah satu produk yang dibuat dari getah pohon karet, berbentuk
seperti gelang, bersifat lentur dan mempunyai daya lenting, sehingga sering
digunakan untuk menjepret sesuatu”. Seorang gadis kecil akan menganggap karet
gelang sebagai “pengikat rambut atau gelang-gelangan yang bisa dipakai di
tangan”. Tapi bila ia pernah terkena jepretan karet gelang, mungkin ia memiliki
persepsi bahwa “karet gelang dapat menimbulkan rasa sakit”.
Bagi
diriku sendiri, karet gelang mengingatkan kembali pengalaman diampuni karena “tidak
tahu apa yang ia lakukan” dan mengajariku tentang penyakit yang disebut “ileus obstruktif”. Bagaimana bisa
begitu?
Di
masa kecil, pasti kita pernah melakukan beberapa kesalahan dalam ketidaktahuan.
Nah, aku pernah membuat kesalahan tak disengaja yang membuat keluargaku gempar.
Rumah masa kecilku dikelilingi halaman dan pekarangan yang luas, yang ditanami
pohon buah-buahan dan bunga, dilengkapi kolam ikan di halaman depan dan kandang
ayam yang besar (seukuran kamar kami!) di halaman belakang.
Di
usia sekitar 6 tahun, aku senang bercocok tanam. Beberapa macam tanaman yang kutanam
adalah bunga pagi-sore, melati, tomat, kacang tanah dan cabe. Mama memang mendorong
kami untuk bercocok tanam, dan kami
senang berada di kebun sambil menggali-gali tanah tanpa tujuan. Saat
menggali-gali tanah itu, aku menemukan kegembiraan pada penemuan ajaib. Di
dalam tanah sering kutemukan cacing, yang kuambil dengan tangan dan kuberikan
kepada ayam yang dipelihara oleh nenek. Ayam-ayam itu menyukainya. Dan aku
menyukai bunyi “kut, kut, kut” mereka ketika berebut cacing tanah, terdengar merdu
seperti semacam paduan suara (yang menyanyikan lagu gembira), sebab jumlah ayam
nenek mungkin lebih dari duapuluh ekor.
Mencari
cacing tanah agak sulit, padahal aku senang sekali memberikannya kepada
ayam-ayam nenek dan membuat mereka gembira, maka aku mencari akal. Dan pada
suatu hari aku menemukan “ide bagus”. Di rumah selalu ada persediaan
karet gelang yang cukup banyak, warnanya merah dan biasanya dibuat menjadi tali
untuk bermain lompat tali. Kalau dipotong, bentuknya mirip dengan cacing tanah.
Maka, kuambil segenggam karet gelang, kupotong menjadi dua atau empat potongan
pendek, kucampur dengan potongan rumput teki dan sedikit dedak, lalu kutaburkan
ke tengah kerumunan ayam nenek. Bentuknya persis seperti cacing dan langsung
para ayam itu berebut mematuknya dengan suara “kut,kut,kut” yang merdu. Sebenarnya aku agak heran, kenapa ayam-ayam
tersebut menyukai potongan karet gelang, padahal rasanya kan pahit (aku pernah
mencoba rasanya). Mungkin mereka tidak punya indra pengecap? Tapi rasa heran
itu tidak menggangguku, sebab aku senang dengan penemuan baru itu, yaitu bahwa
ayam ternyata doyan makan karet gelang.
Setelah
beberapa hari mendapat pakan bercampur karet gelang, tentu saja karet itu
menggumpal dalam perut ayam. Gumpalan benda asing dalam saluran pencernaan
tersebut mengganggu fungsi usus dan menimbulkan kegawatan bahkan dapat
mematikan. Secara ilmu kedokteran disebut sebagai ileus obstruktif. Tapi saat
itu aku tidak pernah menduga bahwa karet itu bisa menyumbat saluran pencernaan
ayam dan akhirnya membuat mereka mati. Ada rasa berdosa dan sedih ketika ayam
nenek mati satu persatu. Nenek tentu saja kalang kabut karena kehilangan lebih
dari 4 ekor ayam dalam sehari. Ketika keesokan harinya nenek menyembelih
beberapa ekor ayam yang belum mati untuk dimasak (“Daripada mati percuma, lebih
baik dimasak”, kata beliau), beliau menemukan gumpalan karet gelang yang
menjadi sumber malapetaka di perut ayam-ayam itu. Tentu saja seluruh keluarga
gempar dan aku dimarahi, namun sekaligus dimaafkan karena “ia tidak tahu apa
yang ia lakukan”.
Setelah
kejadian itu, aku merasa trauma dan tidak mau lagi berurusan dengan karet
gelang dalam jangka waktu yang cukup lama. Dalam kejadian itu, ayam tidak bisa
disalahkan karena mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menilai. Mungkin saja
dalam penglihatan mereka karet gelang itu dianggap sebagai cacing tanah. Sesuatu
yang dianggap bisa memenuhi kebutuhan mereka, padahal ternyata menimbulkan
bahaya. Di pihak lain, aku sebagai si anak kecil ketika itu sama bodohnya
dengan ayam-ayam itu, dan belum bisa membedakan mana yang membawa keselamatan
dan mana yang membahayakan.
Peribahasa
mengatakan “Pengalaman adalah guru terbaik”, maka pengalaman tadi menjadi
pembelajaran juga bagiku dan mengingatkan tentang perlunya untuk selalu
mempertimbangkan lebih dulu apa yang akan kita lakukan. Dengan demikian, semoga
apa yang kita niatkan baik memang akan membawa kebaikan bagi siapa saja yang
kita jumpai. Jangan sampai niat memberi “cacing tanah” yang bisa membebaskan
ayam dari lapar malah berubah menjadi “karet gelang” yang menimbulkan
permasalahan. Di pihak lain, jangan sampai kitapun seperti ayam-ayam nenek yang
salah persepsi, melihat karet gelang seolah-olah sebagai cacing tanah. Mari kita belajar memandang dengan benar dan memilih dengan benar hal-hal yang membuat hidup kita selamat.